Sabtu, 10 Januari 2009

Palestina vs Israel

BERMULA dari serdadunya, Kopral Gilad Shalit, yang disekap dan tidak dibebaskan oleh ejuang-pejuang Palestina meskipun sudah diperingatkan, Israel lalu menggempur habis-habisan Gaza City sebagaimana ancamannya. Tercatat lebih dari 40 orang tewas dan lebih 50 orang luka sejak agresi brutal 5 Juli lalu dilakukan Israel. PM Palestina Ismail Haniyah menawarkan gencatan senjata dan Presiden Mahmood Abbas mengirim dua utusan menemui pemimpin politik Hamas Khalid Meshaal di Suriah untuk melakukan upaya peredaan dengan tukar tahanan. Tetapi PM Israel Ehud Olmert tidak menggubris, dan terus melakukan penggempuran sampai serdadunya diserahkan tanpa negosiasi.

Reaksi mengutuk datang dari seluruh dunia terutama dari masyarakat negara-negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia sebagaimana disampaikan KH Makruf Amin (10/7) mewakili Majlis Ulama Indonesia (MUI). MUI meminta OKI, PBB, Gerakan Non-Blok, dan G-8 agar menghentikan agresi brutal itu. Lagi-lagi, Inggris dan AS terang-terangan membela Israel dengan menolak keras resolusi kutukan Dewan Keamanan PBB. Sebaliknya, Inggris dan AS justru menyalahkan pihak Palestina. Sementara negara-negara Arab dan OKI tidak berkutik.

Tanpa Perubahan

Hampir undebatable lagi bahwa keberadaan Israel di kawasan Arab itu sengaja dipaksakan oleh terutama Inggris dan AS untuk multi-kepentingannya (multi-interests) endiri dengan legitimasi historis “tanah yang dijanjikan Tuhan” yang bisa diperdebatkan. Multi kepentingan itu antara lain, dijadikan sebagai boneka nakal bagi kawasan Arab untuk bargain minyak. Terbukti, tidak jarang begitu tekanan minyak Arab kuat, lalu AS dan Inggris menawarkan peta damai Palestina-Israel. Begitu negara Arab sudah tertarik, peta damai itu dirunding panjang tetapi kemudian redup lagi. Selain itu, jika keturunan Yahudi tidak diberi negara tersendiri mengkhawatirkan merepotkan Eropa dan AS akibat penyebaran keturunan Yahudi yang menguasai media massa dan ekonomi di Eropa dan AS. Terbukti kelompok lobby Yahudi di AS sangat kuat yang mampu menekan Gedung Putih maupun senat dengan ekonomi dan media massanya.

Negara-negara Arab bukan tidak tahu segala motif itu, tetapi tidak mampu memberi terapi akibat sulitnya persatuan antar negara Arab karena ego masing-masing. Sejumlah pemimpin Arab sering menunjukkan watak oportunis terhadap hegemoni AS begitu menghadapi tekanan. Padahal menurut Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam bukunya Ci Vis Pacem Para Bellum, sikap yang kuat tidak mau dijajah (obyek perang) menjadi kunci kemenangan dalam perang sebagaimana ditunjukkan Vietnam dalam perang melawan AS. Mental ini yang belum muncul merata di kalangan bangsa Arab. Kasus mengundang AS dan Inggris oleh Kwait ketika dianeksasi oleh Irak sementara rakyatnya banyak yang enjoy di bar-bar dan ninght club Eropa, dan kasus serbuan AS ke Irak menunjukkan sikap itu.

Selain masalah mental, kesulitan negara-negara Arab menghadapi tekanan misalnya dari Eropa dan AS dalam berbagai kasus karena modal dan teknologi dalam industri-industri unggulannya terutama minyak tidak dieksplorasi secara independen melainkan mengambil dari Eropa atau AS, kecuali Iran yang mengeksplorasi seluruh kekayaan tambangnya dengan modal dan teknologi sendiri. Akibatnya, posisi tawar minyak bagi rata-rata negara Arab tidak sekuat yang dibayangkan.

Rendahnya penguasaan teknologi tidak hanya pada bidang minyak, tetapi juga mulai dari teknologi kunstruksi, sipil, hingga persenjataan. Kekayaan melimpah dari minyak yang bersifat given itu tidak menjadi modal penguasaan teknologi dan penguatan masyarakat. Untuk mempunyai sesuatu apapun, bangsa Arab lebih suka membeli daripada menciptakan. Padahal, dalam hal perdagangan internasional pilihan itu akan meningkatkan import yang menyedot devisa. Demikian halnya dalam hal persenjataan,. Padahal, bagi negara-negara Arab tidak mudah membli senjata karena dipersulit oleh negara produsen karena harus berada di bawah kemampuan militer Israel. Kemampuan serang maupun defensif sama saja tidak boleh, apalagi mengungguli Israel. Karena itu, meskipun kaya tetapi tak satupun negara Arab yang masuk kategori negara maju, dan disegani di panggung politik internasional.

Selama kapasitas otonom baik mental ataupun non-mental di atas tidak berubah maju, maka selama itu pula tidak akan ada perubahan kebijakan AS dan Eropa yang menguntungkan Arab dalam konflik Palestina-Israel. Kapasitas otonom Arab rendah, maka selamanya akan direndahkan nilai tawarnya. Dengan kata lain, tanpa perubahan itu, konflik Palestina-Israel akan abadi. Dan, perubahan itu dimulai dari mereformasi mental Arab menjadi anti dijadikan obyek perang.

Pengakuan Israel

Sejak zaman Menlu RI Mukhtar Kusumaatmadja, berdasar pengalaman Indonesia, banyak diplomat Indonesia yang menyarankan agar Palestina dan negara-negara Arab lain mengakui keberadaan Israel saja. Kehadiran negara Yahudi di kawasan itu anggaplah sebagai fakta sejarah, karena didukung mutlak oleh kekuatan hegemon dunia. Tetapi saran ini sangatlah sulit dilakukan karena idealisme bangsa Arab. Tetapi, idealisme yang tidak didukung oleh kapasitas obyektif untuk merealisasikannya, hanya akan semakin memperlihatkan rendahnya kapasitas bangsa itu.

Barulah, tidak jauh dari masa-masa akhir Yasser Arafat, pengakuan itu bisa ditanda tangani dalam Perjanjian Oslo. Tetapi pengakuan atas Israel oleh kelompok Fatah itu ditentang keras kelompok Hamas yang tetap menghendaki penghapusan Israel dari peta Timur Tengah (Arab) sampai akhirnya Hamas memenangi pemilu dengan Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri, lalu ‘diboikot” Eropa dan AS.

Pemerintahan yang dikendalikan oleh kelompok anti-eksistensi Israel itu, menjadikan bara politik Timur Tengah naik tajam bersamaan dengan belum selesainya pendudukan AS atas Irak. Serangan Israel ke Gaza City yang di DK PBB didukung mutlak AS dan Inggris dan kasus pendudukan di Irak itu lagi-lagi menjadi bukti nyata bahwa Arab tidak mampu menghadapi dominasi AS (plus Inggris) sebagai kekuatan hegemon tunggal yang mengatur kawasan itu.

Karena itu itu perlu strategi yang lebih realistis. Pengakuan atas Israel perlu juga dilakukan oleh Pemerintahan Hamas sebagaimana Pemerintahan Fatah zaman Yasser Arafat. Meskipun harus diakui, pengakuan itu hanyalah merupakan strategi pragmatis. Tetapi itulah yang bisa dilakukan secara realistis menuju kemerdekaan Palestina. Tidak hanya itu, pengakuan itu juga akan menyisakan masalah perbatasan dan klaim wilayah oleh Israel. Sebab, sudah terlihat sejak awal, PM Ehud Olmert menunjukkan keinginan klaim yang lebih luas atas tanah Arab meskipun harus mundur dari pemukiman dekat Ramalah dan West Bank. Tetapi, untuk sementara no-problem sampai Palestina diakui secara internasional atas kemerdekaannya. Kemerdekaan adalah tonggak perjuangan. Sama halnya dengan Indonesia, begitu merdeka, barulah berunding soal Irian Barat (Papua Barat).

Tanpa melakukan terobosan tajam itu, dipastikan Palestina merdeka justru sekedar impian. Bahkan pengembalian dataran tinggi Golan pun selalu jadi illusi harian untuk kembali ke Mesir. Selebihnya, qaidah fiqhiyah yang populer di NU, bahwa jika tidak bisa mendapat semuanya, jangan tinggalkan sebagiannya (laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh), tampaknya relevan untuk diterapkan dalam mengakhiri konflik Palestina-Israel.


0 komentar: